Ilustrasi Gambar Oleh: Denny JA

Oleh: Paulus Laratmase)*

Ketaatan dan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, yang mengatur bahwa Pemilu dan Pemilihan serentak nasional akan diselenggarakan pada tahun 2024, baik Pemilu legislative, Presiden dan Wakil Presiden yang sudah dilaksanakan 14 Februari 2024 dan Pemilu eksekutif,  gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota yang akan diselenggarakan pada tanggal 27 November 2024 wajib ditegakkan.

Ada tiga persoalan yang menjadi dasar tulisan ini:

1. Menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres, publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial. Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikabulkan oleh MK pada Senin, 16 Oktober 2023. Putusan tersebut menyebutkan, capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPRRI/DPD, Gubernur, bupati atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.

2. Pada Rabu, 29 Mei 2024, MA mengabulkan permohonan Partai Garda Republik Indonesia (Garuda) terkait aturan batas minimal usia calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang diatur dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020.

3. Pada Selasa, 20 Agustus 2024, tujuh hari menjelang pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuka, MK mengeluarkan putusan penting, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PPU-XXII/2024.

Seharusnya MK menjadi penegak konstitusi, tetapi dengan keputusannya No 90/PUU-XX1/2023 tentang batas usia minimum Capres Cawapres, MK telah menjadi perusak konstitusi. Demi meloloskan Gibran putra Jokowidodo sebagai Cawapres Prabowo, MK tanpa kewenangan telah merobah syarat pencapresan pada UU No 7 tahun 2017 pasal 169 huruf q dari “Berusia paling rendah 40 tahun” dengan menambahkan ” atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilukada”.

Maka loloslah Gibran yang saat itu baru berusia 36 tahun sebagai Cawapres Prabowo. Padahal UUD 45 pasal 24 C ayat 1 sudah membatasi wewenang MK hanya pada: Menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan  lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan tentang hasil Pemilu.

Melakukan perubahan terhadap suatu pasal atau ayat UU adalah kewenangan DPR melalui mekanisme amandemen UU, bukan kewenangan MK. Maka  putusan MK no 90/PUU-XX1/2023 secara substansial salah.

Prof Yusril Isha Mahendra walaupun ada di kubu Prabowo menilai keputusan MK itu “problematik dan cacat secara hukum”. Bahwa keputusan MK itu salah, dibuktikan dengan dipecatnya Anwar Usman, ipar Jokowidodo dari jabatan ketua MK. Keputusan yang salah dan bodoh itu terpaksa ditaati karena sifat putusan MK adalah final dan mengikat.

Tak mau kalah dengan MK yang berhasil meloloskan Gibran sebagai Cawapres Prabowo, MA berusaha meloloskan Kaesang putra bungsu Jokowidodo dalam Pilkada 2024. Melalui putusannya No 23 P/HUM/2024 tanggal 29 Mei 2024 MA membatalkan pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No 9 tahun 2020 tentang batas minimal usia calon kepala daerah.

MA memutuskan bahwa usia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati/calon walikota harus dihitung sejak pelantikan,bukan sejak penetapan pasangan calon (seperti putusan MK no 70/PUU-XX11/2024). Keputusan ini juga dinilai salah karena bukan kewenangan MA. Pasal 24 ayat (1) UUD 45 menyebutkan wewenang MA adalah menguji peraturan di bawah UU terhadap UU. Intinya putusan MA harus merujuk pada UU dan bukan sebaliknya.

Pada tanggal 20 Agustus 2024 MK putuskan bahwa syarat usia minimal calon kepala daerah, harus dipenuhi pada saat penetapan pasangan calon, bukan pada saat pelantikan (seperti putusan MA no 23 P/HUM/2024). MK juga batalkan ambang batas pencalonan bagi parpol 20% kursi atau 25% suara sah.

Namun tanggal 21 Agustus 2024 Baleg DPR RI mengajukan revisi UU pilkada yang membangkang terhadap keputusan MK dan tetap mencantumkan ambang batas pencalonan 20% kursi atau 25% suara sah bagi parpol yang mengajukan paslon pilkada. Baleg DPR RI juga mendukung putusan MA bahwa batas minimum usia calon kepala daerah dihitung sejak pelantikan paslon terpilih.

Sikap tak tahu malu oknum-oknum lembaga-lembaga tinggi negara mengabdi pada kepentingan keluarga presiden Jokowidodo, dan bukan pada bangsa dan negara, memantik aksi massa besar-besaran berbagai elemen masyarakat di Jakarta  dan sejumlah kota di tanah air. Rakyat sudah benar-benar muak. DPR yang ketakutan mulai bicara “putar bale” bahwa kita harus hargai konstitusi, padahal mereka yang duluan sudah menabraknya.

Tanggal 24 Agustus 2024 Komisi I DPR RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPU. Hasilnya tanggal 25 Agustus 2024 KPU terbitkan PKPU No 10 tahun 2024  tentang pencalonan dalam pilkada, dimana KPU mengakomodir Putusan MK No 60 dan 70 tahun 2024. Maka tertutuplah pintu bagi Kaesang maju dalam Pilkada sebagai calon gubernur, karena usianya baru 29 tahun, dan nanti genap 30 tahun pada tanggal 24 Desember mendatang. Sungguh rekam jejak sejumlah oknum lembaga-lembaga tinggi negara sebagai perusak konstitusi ini, adalah noda hitam tak terhapuskan dalam sejarah demokrasi di tanah air.

Gelombang demo para mahasiswa, akademisi, para guru besar dan sejumlah elemen masyarakat di seantero republik Indonesia menolak dengan tegas keinginan DPR RI yang melalui Badan Legislasi, ingin mempertahankan kekuasaan dengan mengabaikan Putusan MK.

Aktivis dan penulis SATUPENA, bersama para penulis dan individu lain dari berbagai latar belakang telah mengeluarkan petisi yang mendapat dukungan sudah lebih dari 1111 orang. Mereka adalah para penulis senior, guru besar dan akademisi, aktivis, tokoh agama, tokoh media, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, tokoh pemuda, dan siapa pun yang bersepakat melalui petisi yang isinya menolak dengan tegas keinginan “wakil rakyat” yang sejatinya tidak melihat kepentingan rakyat, dan malah terlihat ingin melegalkan kekuasaan kelompok tertentu dengan tidak menerima dua Putusan MK Nomor 60 dan 70 tahun 2024.

Terkait subtansi persoalan di atas, menurut Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum UGM menyebutkan, putusan hukum MK berdampak besar pada nama baik MK dan hukum Indonesia. Baginya, dibanding persoalan disahkannya putusan tersebut, hal yang lebih berbahaya adalah jika MK berubah atas dasar kepentingannya.

Pembentukan MK pada dasarnya ditujukan untuk mewadahi persoalan politik agar diselesaikan secara hukum. Itulah mengapa tugas MK mayoritas banyak bersinggungan dengan politik. Sedangkan menurut Zainal, kondisi yang saat ini terjadi justru terbalik. Putusan yang baru disahkan disebut-sebut memperlihatkan bagaimana MK sangat dipengaruhi oleh politik.

Zainal Arifin Mochtar menegaskan, ketika demokrasi diganggu, maka pertama, penegakkan hukum yang penting dalam demokrasi itu diganggu. Kedua, ketika esensi demokrasi dasar, seperti syarat capres-cawapres, itu tiba-tiba dihilangkan oleh hakim, bagaimana bisa, kebijakan publik yang berkaitan dengan proses demokrasi itu ditentukan oleh orang yang tidak dipilih secara demokratis. Ketiga, adalah bagaimana kekuasaan kehakiman ini diperas untuk membenarkan keinginan politik.

Pernyataan Zainal Arifin Mochtar di atas, kini telah menjadi sebuah fakta hukum, bahwa putera Presiden RI melenggang menuju kursi Wakil Presiden RI perioden 2024-2029 setelah melewati pemilu presiden pada Februari 2024 lalu. Pada momentum ini, dapat dilihat petapa sebuah regulasi yang sifatnya mengikat mematahkan berbagai opini publik tanpa dasar yuridis formal.

Putusan MK Nomor 70/PPU-XXII/2024, oleh para calon eksekutif baik Gubernur, Bupati dan Wali Kota bagaikan mendapatkan rejeki durian runtuh, pasalnya momentum mahar memperoleh dukungan partai politik yang sebegitu tinggi, justeru ketentuan 10 % perolehan suara sah dengan  mengabaikan ketentuan treshold  25 % dari total kursi di lembaga legislatif dipermudah sehingga demokrasi terbuka untuk semua warga negara yang berkeinginan menduduki jabatan dimaksud dengan biaya murah.

Sistem demokrasi pada dasarnya membutuhkan hukum untuk memberikan batasan dan menghindari adanya dominasi satu pihak akan pihak lainnya. Hubungan antara hukum dan politik  tidak boleh dicampurkan dengan kepentingan politik tertentu. Persoalan putusan MK mengenai batas usia capres-cawapres tidak hanya berdampak pada pemilu 14 Februari 2024, Keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Keputusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 pada akhirnya  berdampak pada sistem politik negeri kita sebagai negara demokrasi yang sedang mencari format sistem perpolitikan yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Referesnsi:

  1. ((https://ugm.ac.id/id/berita/pandangan-pakar-ugm-terkait-putusan-mk-soal-batas-usia-capres-cawapres/)
  2. https://www.onlineindo.tv/2024/09/ternyata-sebelum-ke-as-kaesang-sudah.html,

Paulus Laratmase)* adalah Direktur Eksekutif LSM Santa Lusia Biak Papua