Oleh: Fatin Hamama R. Syam
–
Senja baru saja turun ketika saya sampai di Mahakam Residen 24, pertengahan Juni lalu.
Cuaca mendung telah berubah menjadi hujan gerimis. Memasuki Mahakam Residen 24, saya langsung disambut jejeran lukisan AI karya Denny JA di dinding ruangan lobby.
Lukisan grup musik dari Inggris yang populer sekitar tahun 1960 -1970 The Beatles menghiasi ruangan lobby dan kafe. Lukisan ini membawa ingatan saya pada Liverpool yang pernah saya kunjungi. Luar biasa kelompok musik ini telah menginspirasi banyak orang dengan lagu dan personil anggota bandnya walau pun sudah 40 tahun berlalu. Ingatan saya pun melayang ke lapangan terbang di Liverpool yang diberi nama John Lennon untuk mengenang musisi yang melegenda itu.
Ini bentuk apresiasi yang luar biasa dari masyarakat Inggris. Tidak hanya inggris dan belahan dunia yang lain di dinding ini pun saya temui lukisan AI The Beatles menghiasi di sepanjang dinding dan lorong lantai pertama hotel milik Denny JA ini. Tentu pastilah ada kenangan yang lekat di hati Denny JA tentang The Beatles.
Dari lobby saya langsung menuju lantai 7. Begitu petunjuk yang saya dengar dari kawan kawan yang sudah terlebih dahulu melihat pameran. Katanya, lebih mudah menyusuri pameran lukisan AI Denny JA dari lantai paling atas lalu turun ke bawah.
Begitu pintu lift terbuka, mata langsung dimanjakan dengan pemandangan deretan lukisan di dinding sepanjang lorong hotel. Beragam lukisan dengan warna warna cerah dengan bingkai yang apik. Setiap lukisan adalah cerita. Saya terpana menyaksikan satu persatu lukisan seperti membawa kita pada fragmen kehidupan gemuruh sekaligus sunyi yang cekam.
Itu yang saya rasakan berjalan dari satu lukisan ke satu lukisan lain yang berjumlah 188 dari lantai 7 meniti tangga sampai kembali ke lantai pertama dan lobby.
Denny JA piawai menggugah mata dan hati kita. Saya sebutkan mata dan hati, dua bagian dalam diri yang menyusup ke jiwa jika digabungkan akan menjadi mata hati. Mata hati saya rebak dengan sunyi dalam gundah.
Pada lantai 7 dan 6 saya menemui lukisan anak-anak dalam tawa dan tangisnya. Ada masa kecil yang bahagia tapi tak sedikit masa kecil yang redup berair mata. Lukisan anak anak Palestina korban perang dalam reruntuhan dan puing menyusup ke dinding hati. Kita mempertanyakan perang: Sampai kapan perang ini akan berakhir ?
Pertanyaan yang tanpa jawaban, saya menelan ludah yang terasa pahit .
Lukisan-lukisan yang sambung menyambung di dinding lorong sampai ke dinding tangga, bagai kita tengah membalik-balik halaman buku gambar berwarna. Banyak bercerita.
Sekali lagi saya mengatakan Denny JA piawai mengaduk mata hati kita. Dari lukisan anak anak, kemudian lukisan derita Gaza, terus pada lantai 5 revisiting pelukis dunia, lantai 3 meditasi dan tempo dulu, lantai 2 tentang pilpres 2024 dan covid -19 .
Saya tak hendak membicarakan apa pun tentang teknis lukisan AI atau teori tentang lukisan dan sebagainya. Saya tak paham benar soal itu. Saya hanya hendak menuliskan dalam tulisan ini tentang jiwa saya yang gundah setelah menyusuri lorong dan menatap dengan hening di setiap lukisan.
Ada tiga lukisan yang membekas dalam hati saya. Pertama, lukisan patung Dirgantara dan gerobak roti pada Jakarta yang masih sepi. Lukisan ini membangkitkan ingatan saya pada tahun 1970 ketika saya kanak-kanak. Kami tinggal di daerah Dukuh Atas. Jika hendak ke Pasar Minggu membeli buah, kami naik oplet. Di persimpangan Pancoran, saya selalu terkagum-kagum melihat patung orang terbang di langit. Saya berfikir apakah jika helicak diberi baling-baling, bisa terbang ke dekat patung itu?
Kenangan masa kecil pada Jakarta tempo dulu adalah kenangan yang mengharu biru.
Sekarang Jakarta sudah sangat padat dan bukan bernama ibu kota lagi setelah ibu kota dipindahkan ke IKN. Dan bulan Juni ini ulang tahun Jakarta yang nyaris akan menuju lima abad. Selamat Ulang Tahun Jakarta.
Lukisan ke dua yang membekas adalah lukisan jam yang meleleh di sela ranting-ranting dan robot yang berjalan. Lukisan ini merupakan hasil revisiting Salvador Dali yang digubah Denny JA. Lukisan ini meremas dan menyayat hati saya, betapa waktu tanpa ampun berjalan dengan pasti dan berganti dari waktu ke waktu dari hari ke hari. Tak ada yang abadi. Semua berubah dalam peradaban. Dan, adaptasi teknologi robot yang dulunya hanya mimpi dalam mainan anak anak kini berubah dan masuk dalam setiap sistem kehidupan disadari atau tidak disadari. Saya merasakan sunyi dan sekaligus gaduh seperti menabuh angin antara waktu yang meleleh dan robot yang berjalan angkuh dalam lukisan tesebut .
Lukisan yang ke tiga yang menggugah saya adalah lukisan tanpa nama, tanpa tanggal, tanpa tulisan. Yaitu, lukisan seorang laki laki di puncak bukit yang sepi di bawah matahari yang kuning, awan, dan langit yang biru. Lukisan ini sempurna menggiring saya pada pelukisnya Denny JA. “Ini beliau,” bisik hati saya. Semua lukisan, dari 188 lukisan yang ada, ini adalah induknya, yang melahirkan gundah sepi, sunyi dalam semua warna kehidupan yang beliau torehkan. Dia laki-laki yang suka bermenung.
Dia berdiri pada puncak sunyi berkabar pada matahari atau mungkin tengah menyerap sinar matahari dan energinya. Bercakap cakap dengan sunyi di ruang sunyi dalam waktu yang sunyi. Beliau tak bersembunyi dalam gua yang sepi tapi mendaki bukit dan tengadah pada matahari. Tiba-tiba saya mengingat Musa di puncak Sinai, bercakap-calap dengan Tuhan. Dalam sunyi alam gemetar, 10 perintah Tuhan turun.
Saya meninggalkan Mahakam Residen 24 ketika senja telah selesai turun.
Malam membentang di sepanjang jalan menuju rumah.Saya pulang dengan sunyi yang tidak baik-baik saja. Hati saya gaduh dalam waktu yang meleleh. Lukisan-lukisan AI Denny JA bernas menuangkan cerita. Saya terpana. Dahsyat.
Kampung Dukuh 21 Juni 2024.