Oleh: Muhammad Solihin Oken

Lagu Camar Dian Sastro

1
Aku adalah camar yang terbang membawa kata pagi saat mentari terbitkan cahayanya; bila hari cerah aku menari dan bernyanyi sambil memandang laut dan pantai di kejauhan; dan laut juga pantai selalu menatap ke arahku, berharap aku turun dan memeluknya

Kata langit selalu berkata padaku: sisakan harimu untuk esok, jangan kau habiskan hari ini; karena cuaca dan iklim tak pernah sama- selalu berganti; seperti perasaan hati: ada riang, ada duka

“Bagaimana kau mulai harimu? Apakah kau lebih senang memandang gemulai awan atas sana atau pada ombak laut ke arah pantai bawah sana?” tanya Langit. “Aku suka keduanya,” kataku, “Tapi, aku lebih suka terbang melintas ke arah teluk dan menunggu gerimis senja datang.”

2
Bila gerimis datang- bawa segenap kerinduan yang panjang- tanpa setitik keraguan padaku; aku pun terbang melintasi teluk dan berputar-putar atasnya dimana kepak sayapku lebar bawa hiasan dan pesona keindahan; mendesir angin ke sana pada pohon-pohon nyiur di pantai atau cemara yang tertancap tinggi atas tebing curam

“Wahai Camar, sayapmu begitu indah,” ucap Teluk, “Siapa yang ingin kaupeluk hari ini: aku, pohon-pohon atau gerimis itu?” Aku senang tapi terkadang kesal juga mendengar ucapan si Teluk- karena dia mengucapkan itu hampir setiap kali aku melintas di sisinya; dia tahu, aku menyukainya, tapi dia gundah aku tak pernah merindukannya

Segumpal awan putih di langit seakan ingin menenggelamkan tubuhku; dan aku mencoba terbang dalam naungan dan keteduhannya; sekali bertanya: apa gerimis akan turun esok pagi?

3
Aku lahir sebagai betina, camar kecil yang pemalu! Waktu beranjak remaja aku berlatih terbang berputar-putar menari dan bernyanyi sambil menatap teluk di kejauhan

Pada angkasa biru aku melagu nyanyikan rindu gerimis yang hilang terhapus kata hujan; sepi bayang segala angkasa; aku pun pergi terbang sendiri dan gerimis tinggal lamunan

Sampai senja memanggil; seberkas sinar redup, dan matahari itu berkata: Gerimis itu suara kesunyian, dan para dewa yang suka terbahak-bahak tak suka dengar suaranya daripada hujan; hanya dewa-dewa itu kemudian sadar, dan bersepakat dalam kerahasiaan: suara hujan itu pergi ke laut, sedang gerimis kembali ke langit awan

4
Aku- perempuan yang bergerak dan memandang dunia dengan mata pagi; di sana cahaya baru terbitkan kemerahan dan perlahan-lahan naik bawa bayang ke tiap sudut kota. “Cahaya itu Dian, indah dan menghidupkan, karena itu kuberi kau nama: Dian.” demikian Ibu bercerita, dan berkata tentang makna

Kurasa aku sendiri setuju dan suka nama itu: karena apa yang lebih berharga dari cahaya? Matahari bulan bintang hingga seberkas cahaya lilin atau obor sebagai pelita- dalam gelap kehidupan. “Perempuan cantik itu tak hanya cantik, Dian,” demikian Ibuku, “Tapi dia juga selalu tampak bercahaya.”

Ibuku senang bercerita dan berkata tentang makna- bila aku tatap wajah Ibuku saat dia sedang bercerita, aku suka terkenang kata-kata Kakekku, Sastrowardoyo; Kakekku bilang: Dian, kamu itu seperti puisi, karena kau lahir saat guratan kata puisi itu datang kepadaku dan suara gerimis menajam di beranda

5
Aku- Cahaya itu, dan kau panggil Cinta; Rangga, lelaki aneh itu! Dia datang padaku dan membawa sepotong dunia, puisi dan kata Cinta? Adakah dia membawaku ke ruang gelap ketika terang menyentuh sebuah layar: fiksi dan nyata

Cerita Cinta dan Rangga seperti goresan garis pada sketsa- dan aku berjalan waktu senja memanjang- pudar atas sebaris puisi yang datang dan tak pernah sampai; aku ada dalam kehidupanku bersama kisah kemarin dan akan datang, dan belum kautulis

“Aku seperti puisi,” kata-kata Kakekku itu selalu menyenangkan dan menguatkanku; dan aku ingin membawa puisi-puisi itu ke laut jauh ke teluk yang selalu merindukan peluk sang camar

6
(surat dari Kakek)

Kubawakan suara itu, Dian- suara gerimis; suara yang jauh tinggi di langit awan; waktu ia tiba-tiba datang kepadaku tiada seorang pun yang tahu, dan langsung ia segera kudekap- seperti memeluk hati-hati yang kalah; Cinta, Dian, seringkali bawa pengorbanan ke sisi ruang, dan kematian; kata teguh dan baur di sana, dalam jelaga

Gerimis, dan sajak itu- meregang hati yang jauh; yang dekat mungkin memaknainya sebagai biasa seperti mengucap amin pada akhir sebua doa

Pada cermin buram, akankah kita berkaca? Segala tinggal beku dan sia- karena usia luruh dalam kesepuhan, mungkin yang tinggal teka-teki, sebelum cermin itu kau pecahkan!

7
Ke laut- mencari senja yang hilang ke ujung batas penantian

Di dermaga- waktu kulepas tali pada tiang-tiang mesin kapal t’lah dinyalakan bawa suara dan rindu camar di depan

Berdiri samping nahkoda- dia bawa cerita tentang malam yang tahluk dan ikan-ikan duyung lepaskan tangis dalam gerimis