Oleh: Alex Runggeary
–
Emoe pensiunan Under Ground Freeport berusaha keras menjadi penulis. Tapi, apa mau dikata, ia berakhir menjadi pembersih kuburan. Sore itu Emoe yang sudah hampir kehabisan simpanan pensiunnya itu berupaya mencari penghasilan lain dengan membantu seorang tua penjual sapu lidi. Ia bermodalkan suara yang lebih nyaring daripada pak tua ini.
“Sapu lidi…..sapu lidi…dua limaribu, ibu- ibu dijamin halaman bersih….” ia berteriak dengan suara lantang. Temannya pak tua si pemilik sapu lidi itu tersenyum lega. Tapi seperti biasa ia harus memberi tip sebentar setelah selesai jualan. Ada yang membantu teriak keras, “Sapu lidi…Sapu lidi…beli..beli….buat halaman bersih…”, lanjut Emoe di depan Toko Diana, toko terbesar di kota Timika
Seorang perempuan muda berhenti dan memeriksa ikatan sapu lidi yang tergeletak menumpuk di pelataran parkir yang luas itu. ” Apakah Anda pemilik sapu lidi ini ataukah pak tua ini?”, tanya Handini si perempuan muda cantik berhijab itu. ” Pak tua ini….”
“Lalu Anda siapa?”
“Aku Emoe, si penganggur…..”
“Oh begitu. Saya kebetulan mencari pekerja untuk membantu saya” jelas Handini yang asal Atjeh itu. “Apakah Anda bersedia bekerja membantu saya?”
“Siap, tapi bolehkah saya bertanya?”
” Sebelum Anda bertanya, saya pengen tahu nama Anda”
“Nama saya Emoe si penganggur, nama julukanku”
“Oh baik, silahkan bertanya Sdr Emoe”
“Apa pekerjaan yang ibu mau tawarkan ke saya?”
” Ini jenis pekerjaan yang ada hubungannya dengan sapu lidi ini. Sore ini saya akan membeli dua sapu lidi untuk pekerjaan itu”
” Ooh sebagai pembersih halaman, siap. Halaman rumah?”
” Bukan, kuburan ! “, jawab Cut Handini, jurnalis senior Carstenz Post itu. Jurnalis adalah pekerjaan pokok Handini. Sedangkan koordinator membersihkan kuburan adalah pekerjaan sukarela
Perjalanan Emoe sebagai penulis berawal dari sini. Jauh di kemudian hari di bawah bimbingan Handini dalam diskusi kelompok Duapena yang terdiri dari jurnalis dan penulis yang secara periodik bertemu di Cafe – Kopi Aceh Bang Tagor – tepat di depan Hotel 65 Timika. Ternyata pemilik Cafe ini orang Atjeh Asli yang pernah bergabung pada masa pemberontakan dulu. Berlindung dengan nama palsu sangat membantu kamuflase.
Walau Emoe berusaha keras untuk menulis lebih baik dari waktu ke waktu, tapi sulit rasanya untuk masuk ke dalam arus utama para penulis. Akhirnya ia memutuskan untuk cukup hanya menjadi – Penulis Pinggiran. ” Aku menulis untuk keabadian “, ia memotivasi dirinya sendiri dengan anjuran Pramoedya Ananta Toer itu, menulislah untuk keabadian.
——-
Bandar Lampung, 21 Juni 2024
” Menulis itu seperti pelita, menarangi. Dan membaca adalah minyaknya “, Alex Runggeary 2020
Taken from – Penulis Pinggiran , a novel