Oleh: Chris Poerba

Jumat sore, 3 Mei 2024 adalah upacara pemakaman dengan protokol kenegaraan kepada Prof. Dr. Mely Tan Giok Lan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Upacara ini sebagai penghormatan terakhir kepada beliau atas sumbangsihnya bagi Indonesia.

Namun, saya ingin mengiringi jenazah beliau sejak dari rumah duka Rumah Sakit St. Carolus. Saya tiba sekitar pukul 13.00 WIB di rumah duka. Sebagian besar sahabat dan tamu yang hadir adalah rekan-rekan sejawat dari Ibu Mely G. Tan, terutama rekan-rekan sejawat dari tiga lembaga tempat beliau selama ini berkarya: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/ LIPI (Sekarang BRIN), Departemen Sosiologi Universitas Indonesia, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Saat saya baru tiba, proses kremasi sedang dilakukan. Semua pihak keluarga dan tamu undangan hadir menunggu di Ruang Gabriel, Lantai 6. Proses kremasi dilakukan kurang lebih dua jam. Sekitar pukul 13.30 WIB, kami semua diinformasikan kalau proses perabuan sudah selesai dilakukan. Semua turun menuju loby. Dimulailah protokol kenegaraan melepas kepergian Mely G. Tan.

Semua orang sudah menunggu di pintu dan pelataran rumah sakit. Deretan tentara berbaris rapi menghadap pintu keluar. Pintu belakang mobil ambulan sudah siap menyambut peti jenazah. Tibalah jenazah di pelataran, sebuah tembakan ke udara untuk menangisi kepergiannya. Hujan pun turut sangat deras dari rumah sakit menuju pemakamannya. Hujan membawa kesejukan, apalagi selama tiga hari kemarin, Jakarta sedang panas-panasnya.

Setelahnya, iring-iringan jenazah berjalan menuju tempat peristirahatannya terakhir. Bus yang saya tumpangi tiba di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Semua orang berjalan teratur dari belakang mengikuti peti jenazah menyusuri pedestrian hingga jalan setapak menuju lokasi pemakaman.

Di lokasi pemakaman, terlihat tenda sudah terpasang, tamu undangan sudah pada hadir, barisan tentara sudah berada di dekat liang makam. Inspektur upacara dari BRIN pun sudah siap. Upacara kenegaraan pun berjalan dengan lancar dari awal hingga akhir. Ibadah pemakaman secara Katolik dilayani oleh Pastor atau Romo Matius Batubara.

Inilah pertamakalinya saya mengikuti protokol upacara pemakaman secara kenegaraan dari awal hingga akhir. Dulu, saya pernah mengikuti upacara pemakaman ketika Nurcholish Madjid berpulang. Namun, saya terlambat dan hanya mengikuti setengah dari acaranya.

Saya tidak terlalu dekat mengenal Ibu Mely G. Tan secara personal. Sekitar kurun waktu 2002-2010, saya rutin mengikuti seminar, diskusi, bedah buku, dan mengunjungi perpustakaan di LIPI, jalan Gatot Subroto. Pada situasi itulah, saya masih menjadi peneliti, dan berjumpa dengan Ibu Mely dan peneliti-peneliti lainnya. Saya telah membaca dua bukunya, yaitu: Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa (1981), dan Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan Mely G. Tan (2008). Buku pertama, saya membelinya di toko buku lawas di emperan lapak-lapak di Kwitang. Sekitar tahun 1999, pasca reformasi.

Pada tahun 2012, setelah saya bergabung dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, barulah mulai sering berjumpa dengan Ibu Mely. Terutama kalau beliau datang sebagai tamu undangan. Saya ingat, pertamakali berjumpa, mengatakan, “Saya punya dan sudah baca buku Ibu.” Saat di lembaga negara inilah, akhirnya saya memilih untuk menulis tesis: Kekerasan Seksual di Tragedi Mei ’98. Lantas, kedua buku dari Ibu Mely menjadi referensi saya menulis tesis.

Sehari sebelum pemakaman Ibu Mely, malam harinya, saya menyempatkan untuk membaca lagi pemikirannya yang tertuang di dalam buku tersebut. Ada foto Mely G. Tan, ketika wisuda sebagai perempuan pertama doktor ilmu Sosiologi.

Pada tulisan sebelumnya, saya pun kembali mengingat, pernah dua kali mengantar Ibu Mely dari sebuah acara kembali pulang ke apartemennya di Jakarta Selatan. Ternyata untuk ketigakalinya, saya mengantarkan beliau pulang ke rumah peristirahatan terakhirnya.

Selamat jalan, Ibu Mely. Kasih Tuhan telah menjemputmu. Amin

Jakarta, 04/05/2024