Muhammad Takdir, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika, BSKLN Kemenlu RI menyebut dalam diskusi publik yang diselenggarakan APS Papua bahwa terbentuk AUKUS memberikan pengaruh besar terhadap kepentingan geo-strategi di Kawasan. Diskusi mengenai AUKUS di mata Papua yang diselenggarakan pada 26 Juni 2023 itu menampilkan sejumlah panelis yang secara umum sepakat mendudukkan cara pandang masyarakat Papua sebagai perspektif yang perlu diperhatikan karena berbagi proximity langsung dengan Australia. Menurut Takdir, Indonesia sendiri telah menyampaikan sikap tegas dan keprihatinan mendalam terhadap pergeseran langkah Australia, Inggris dan AS dengan pembentukan AUKUS yang juga dilihat oleh masyarakat Papua sebagai manuver yang perlu dikhawatirkan. Meskipun demikian, Takdir juga memberikan catatan bahwa Australia cukup aktif menjelaskan sikap tersebut dengan mengirimkan sejumlah delegasi ke Jakarta untuk menjelaskannya kepada Pemerintah Indonesia. Sebagai dua negara bertetangga yang demokratis, Indonesia dan Australia harus membiasakan diri untuk dapat secara terbuka menyampaikan inisiatif apapun yang akan diambil dan berdampak pada kepentingan nasional kedua negara dan stabilitas maupun keamanan Kawasan.    

Menurut Takdir, AUKUS yang sepenuhnya bertumpu pada pengembangan kemampuan militer Australia dalam penggunaan kapal selam bertenaga nuklir di bawah dukungan Inggris dan AS memang keputusan sah Canberra. Hanya bagi Indonesia, Australia juga sebaiknya memperhatikan concern dan kerentanan yang dapat ditimbulkan dari penggunaan kapal selam bertenaga nuklir. Selain dapat memicu perlombaan senjata di kawasan, juga AUKUS potensial menyulut insiden yang berdampak pada lingkungan sekitarnya. “Setidaknya keberadaan 5 kapal selam bertenaga nuklir Australia dalam waktu dekat 2030, akan mendudukkan Australia sebagai negara nuklir ketujuh dengan mendahului India yang baru memiliki satu kapal selam betenaga nuklir” ujar Takdir.

Selain itu, Takdir juga mengingatkan bahwa pemanfaatan teknologi nuklir untuk kepentingan apapun seringkali sangat sensitif. “Kapal-kapal selam bertenaga nuklir di bawah laut bisa beresiko bocor, entah karena human error, tetapi bisa juga karena faktor alam yang berdampak negatif dan mengancam jiwa manusia”, ujarnya. Takdir mencontohkan Fukusima Jepang, kebocoran tenaga nuklir di Jepang akibat Tsunami sehingga berakibat buruk bagi lingkungan di sekitar saat ini. Takdir juga menyebutkan kekhawatirannya bahwa fokus AUKUS itu hanya atau memicu perlombaan senjata sebagai respons terhadap apa yang disebutnya growing influence China di Kawasan. Menurutnya memang dalam konferensi pers pertama kali AUKUS disepakati, ketiga negara itu tidak menyebut secara spesifik China, tetapi rangkaian manuver yang dilakukan negara-negara major powers dan sekutunya saat ini menunjukkan upaya containment terhadap negara komunis tirai bambu tersebut.

Dari perspektif Australia, Takdir menilai bahwa Canberra bukannya tidak menyadari implikasi yang timbul dari kesepakatan AUKUS. Oleh karena itu, sebagai cerminan negara tetangga yang baik, Australia berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada Indonesia dan tetangganya dalam ASEAN mengenai keputusan Canberra mengikatkan diri pada AUKUS. Australia saat ini rutin mencoba melakukan diskusi intelektual dengan Indonesia terkait AUKUS yang dinilai merupakan mitra strategis AS dan juga China.

Satu hal yang perlu digarisbawahi menurut Takdir adalah kesepakatan AUKUS juga bisa dilihat sebagai bagian dari pertarungan rivalitas yang mesti dicermati karena membawa dampak yang tidak kecil terhadap negara sekitarnya. “Hal menarik memang bahwa mereka yang terkait dengan kesepakatan itu adalah negara yang dikategorikan demokratis, sementara pihak di seberangnya merupakan negara yang dianggap otoritarian. Sehingga boleh jadi rivalitas tersebut juga mencerminkan gesekan yang disebut Samuel Huntington dalam clash of civilization: the remaking of the new world order”, kata Takdir. Gesekan itu terjadi sebagai wujud persaingan negara demokratis dengan negara otoritarian sehingga seringkali membuat negara kecil yang lemah berada di tengahnya menjadi saingan rentan atau bahkan terseret sebagai proxy.

Menurut Takdir, AUKUS yang dipelopori Amerika Serikat sebagai sebuah negara demokratis dan China dengan kekuatan otoritariannya, tentu memiliki pengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap negara-negara di sekitarnya. Bagi Indonesia, masyarakat internasional khususnya sebagai negara yang dalam transisi demokrasi, kasus Ukraina dan Myanmar dapat menjadi pelajaran, termasuk dalam mengantisipasi konsekuensi yang timbul dari munculnya kesepakatan AUKUS di Kawasan. Memang konsep itu diprakarsai oleh negara-negara demokratis, tetapi tidak semua inisiatif yang muncul dari mereka harus selalu dianggap mewakili kepentingan masyarakat internasional yang mengutamakan stabilitas dan perdamaian dunia. “Kita telah menyaksikan bagaimana Ukraina yang kini cenderung menjadi proxy meski tadinya sedang dalam proses transisi demokratis serta Myammar yang juga dalam proses serupa kini harus menghadapi kemunduran demokrasi karena ketidakmatangan tatanan demokrasi dan good governance mereka sehingga tidak mampu membangun soliditas internalnya” ujar Takdir. Sehingga menurutnya, Indonesia memang harus memperkuat pengaruh diplomatiknya untuk menunjukkan bahwa pengaruh rivalitas negara-negara besar tidak sampai mendikte kepentingan strategis Indonesia.

Saat ini dunia internasional banyak terjebak pada kepentingan sempit masing-masing. Semua bergerak berdasarkan “me first policy”. Bahkan sebagai negara yang biasanya dikategorikan full democracy, juga terlihat lebih suka mencampuri urusan kepentingan domestik negara lain demi kepentingan terselubung. Oleh karena itu Takdir menyerukan agar negara-negara di kawasan Indo-Pasifik mendorong lebih dahulu CBM (confidence building measures) agar tercipta sikap saling percaya sehingga terdorong untuk lebih mengkoordinasikan posisi kepentingan masing-masing secara terbuka dan konstruktif. Dengan demikian, setiap negara termasuk Australia dapat mengukur sendiri langkah-langkah strategis yang diambilnya berdasarkan prinsip kepentingan bersama.

Dalam presentasinya, Takdir menyimpulkan bahwa upaya Indonesia saat ini akan terus mencermati seksama dan hati-hati keputusan Pemerintah Australia untuk mengakuisisi kapal selam bertenaga nuklir oleh negara tetangga. Indonesia sangat prihatin atas berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan di kawasan, sehingga menekankan pentingnya komitmen Australia untuk terus memenuhi semua kewajiban non proliferasi nuklirnya. Indonesia juga terus meminta Australia menghormati komitmennya terhadap perdamaian, stabilitas dan keamanan regional sesuai dengan Traktat Persahabatan dan Kerjasama dan mengingatkan pihak lain yang terkait untuk tetap memajukan dialog dalam menyelesaikan perbedaan secara damai”. (Pl)