Oleh: Rizal Tanjung
–
Dalam bentangan warna yang mengalir dan menabrak, dalam percikan merah muda yang tampak seperti jantung yang robek atau luka batin yang menganga, kita dihadapkan pada karya terakhir yang belum selesai dari mendiang Herisman Tojes—seorang pelukis abstrak geometris asal Indonesia yang sepanjang hidupnya dikenal lewat garis-garis tegas dan ketertiban bentuk. Namun dalam karya ini, yang ia lukis di awal tahun 2025 sebelum ajal menjemputnya secara tiba-tiba, justru kita temukan pergolakan yang jauh dari tatanan geometris yang biasanya ia jaga.
Perpindahan Gaya: Dari Geometris ke Emosional
Karya ini terasa seperti pembelotan sunyi dari gaya Herisman selama ini. Ia meninggalkan simetri, mengacaukan struktur, dan memilih pusaran bentuk cair yang lebih menyerupai ekspresi batin ketimbang konstruksi visual. Seolah, di penghujung hidupnya, ia ingin berkata bahwa garis tak lagi mampu memuat seluruh detak jiwanya.
Beberapa kolega dekatnya menyebutkan bahwa Herisman tengah mengalami pergulatan batin yang dalam sebelum wafat—terkait kesehatan, kehilangan, dan keresahan eksistensial. Lukisan ini, yang belum ia beri judul, mungkin adalah detak terakhir jiwanya yang tertangkap kuas: tidak rampung, tetapi jujur.
Detak Jantung dalam Warna
Titik pusat lukisan ini—area merah muda yang meledak dan menyebar—bisa dibaca sebagai visualisasi literal dari jantung: bukan hanya organ, tapi pusat emosi dan kecemasan. Ada kesan denyut yang tersumbat, energi yang tertahan. Warna-warna yang berkonflik antara dingin dan panas menyiratkan dualitas antara hidup yang masih ingin berlanjut dan tubuh yang sudah menyerah.
Herisman Tojes, yang sepanjang kariernya mengutamakan keteraturan visual, seolah menjungkirbalikkan seluruh prinsipnya dalam karya ini. Ia menyerahkan dirinya pada kekacauan yang dikendalikan, menjadikannya semacam surat wasiat visual yang tidak utuh, tetapi menggugah.
Konteks Historis dan Simbolik
Dalam sejarah seni, ada tradisi panjang karya-karya terakhir yang tak rampung—seperti lukisan terakhir Francis Bacon yang tidak selesai karena kematian mendadak, atau karya Van Gogh yang menggambarkan lanskap menjelang ajalnya. Dalam konteks itu, karya Herisman ini menjadi bagian dari warisan tragis seni rupa: karya yang tidak diberi waktu untuk selesai, namun justru karena itulah ia abadi.
Lukisan ini bukan hanya hasil artistik, tapi juga rekaman biologis dan psikologis—getaran terakhir dari tangan yang melemah, detik-detik terakhir dari jiwa yang masih ingin berbicara di atas kanvas.
Elegi Tanpa Judul
Lukisan terakhir Herisman Tojes ini belum memiliki judul. Mungkin memang tidak perlu. Sebab ia sudah menjadi judul dari dirinya sendiri—sebuah elegi tanpa narasi, tetapi penuh gema. Ia adalah puisi visual dari seseorang yang pergi dalam proses mencipta, dan justru dalam ketidakselesaian itu, kita mengenal Herisman secara paling utuh.
Sebagaimana lukisan ini menggantung di ambang selesai, begitulah Herisman meninggalkan kita: setengah langkah dari jawaban, namun sepenuhnya jujur dalam pertanyaan.
Catatan penulis:
“Garis-garis itu dulu memberiku rasa aman. Tapi kini, aku ingin tahu bagaimana bentuk air mata jika dilukis.”
Sumatera Barat, 18 Mei 2025.
