Oleh: Stefi Rengkuan

Entah kebetulan, hampir sepekan lalu, saya diminta bakudapa dengan senior almamater di sebuah hotel bintang 3 di kawasan elite pusat kota Jakarta, dan di sana kemudian justeru kami dijemput oleh 3 pentolan dan penggerak sebuah komunitas intelektual di mana senior saya sangat bangga bergabung dengan kelompok tersebut.

Mereka menjemput kami berdua ke sebuah pertemuan kelompok Esoterika itu di dalam Mall of Indonesia (MoI). Para anggotanya nampaknya penggemar dan pembelajar bahkan pengajar filsafat, bahkan dalam arti tertentu adalah para filsuf, dengan segala macam kegiatan mereka yang menarik dan berguna sesuai profesi dan panggilan mereka individual dan komunal.

Itu mungkin daya tarik utama kelompok ini bagi senior almamater Seminari Pineleng, apalagi dia tinggal jauh di negeri Papua dan bergerak dalam dunia pendidikan dan pelatihan, sebagai dosen, pendiri LSM, sampai aktivis “jalanan” teduh maupun panas, tentu sesuai konteksnya. Dalam ungkapan lokal, Kaka ini tarada kosong, dia macam sudah lengkap begitu untuk terlibat dan melibatkan diri lebih luas dan tinggi jangkauan. Buktinya, dia salah satu yang menjadi tim perumus UU Otsus Papua itu.

“Ade, mungkin saya satu-satunya anggota alumni Pineleng yang bergabung dalam kelompok itu, dan salah satu tulisan saya pernah dimuat dalam buku bunga rampai untuk mengenang seorang tokoh kelompok yang meninggal.” Begitu senior saya dengan polos mengungkapkan kekaguman dan kepuasaanya dengan kelompok tersebut yang memang diisi oleh para aktivis intelektual kampus dan non kampus yang peduli dengan realitas praksis maupun teoretis kehidupan di bumi yang satu dan sama ini. Pak Budi, Pak Elza, dan Mbak Amelia pun hanya tersenyum dan nampak akrab dengan gaya kak Paul ini. Penasaran juga saya karena mereka nampak sudah seperti teman lama yang akrab, padahal hanya bertemu secara daring.

Dalam perjalanan dalam mobil itu kita bercerita sana sini, berkenalan dan bertambah info, dan sampai saat nama Pastor Kees Bertens spontan kusebut, karena tokoh senior di antara para penjemput itu mengaku pernah menjadi muridmu di STF Dryarkara.

“Oh, Pak Budi tentu kenal Romo Bertens ya?”

“Oh iya tentu, beliau pernah menjadi dosen saya untuk beberapa mata kuliah…namun kemudian beliau pindah ke Atmajaya, di sana dia mengembangkan etika…”

Setelah beberapa percakapan saya jadi tahu Dr. Budi Munawar yang menjawab itu pernah kukenali melalui beberapa artikelnya di beberapa buku, antara lain buku Prof. Frans Magnis-Suseno, dan ternyata dia adalah lulusan filsafat linear Strata 1-3 di STF Dryarkara, dan sekarang menjadi dosen di almamaternya itu, juga di beberapa Universitas Islam terkenal. Bukan saja dia adalah seorang beragama Muslim tapi tentu saja karena kapasitas keilmuannya yang sangat dihargai juga di lembaga-lembaga intelektual itu. Saya jadi ingat pertama kali membaca kesan positif dan takjub dari seorang intelektual muda Muslim yang kesohor waktu itu, Ulil Abshar Abdalla yang mengungkapkan rasa kagumnya akan adanya sekolah bernama Dryarkara yang berisi dengan dosen-dosen hebat, perpustakaan mumpuni, dengan spesialisasi filsafat laksana sumber ilmu yang tiada keringnya.

(Saya mau lanjut ungkapan hati pikir ini dengan menyapa hormat beliau orang pertama tunggal.)

Romo Bertens yang berbahagia, entah kebetulan saja atau malah boleh kuyakini sebagai kehendak semesta bahkan ilahiah bahwa saya bertemu dengan salah satu yang bangga menyebut dirinya sebagai muridmu juga di STF Dryarkara. Saya jadi ingat guru dosen saya yang adalah muridmu. Dan saya yang hanya murid dari seorang muridmu di almamater STF Seminari Pineleng diberi kesempatan untuk mengenangmu juga dalam rentang satu minggu ini engkau telah meninggalkan kami di dunia fana ini.

Muridmu itu di sana, Dr. Yong Ohoitimur, adalah dosen saya, seorang biarawan MSC dan imam sama sepertimu juga, dan sekarang menjadi profesor filsafat di almamater. Dia tentu sudah mengkader banyak alumni juga termasuk yang mengikuti jejaknya sebagai dosen, bahkan lebih istimewa sebagai dosen filsafat. Saya hanyalah murid biasa yang tidak berprofesi di dunia akademis kampus.

Dan saya sangat bersyukur dan bahagia karena telah turut menikmati aliran ilmu di ruang kuliah yang sama di mana engkau …
pernah memberi serial kuliah filsafat bagi para mahasiswamu di Seminari Pineleng itu. Ruangan-ruangan kuliah yang berdiri sejak 1954 itu sudah dibongkar beberapa tahun lalu, hanya jadi timbunan untuk berdiri gedung baru yang lebih bagus dan megah. Akan tetapi kebesaran almamater bukan terutama pada bangunan fisik belaka, dan kenangan perjumpaan di sana tak akan pernah hilang dalam ingatan. Lembaga itu adalah tempat pertama engkau memberi kuliah filsafat sejak tiba di Indonesia, dari tanah Belanda.

Pater Bertens yang baik, dari beberapa informasi saya tahu beberapa hal tentangmu. Dari tempat terpencil dengan nama agung dan tak terlupakan oleh para alumninya di STF Seminari Pineleng, engkau kemudian menuju ke Jakarta, pusat segala kemajuan waktu itu. Tentu dengan jangkauan yang lebih luas lagi, dengan para rekan dosen dan mahasiswa, juga secara istimewa dengan penerbit buku nasional.

Di Jakarta sebagai pusat kemajuan Indonesia, engkau membuktikan kapasitas dan integritas keilmuanmu, dan bahkan engkau terus mengembangkan dan melampaui tugas-tugas sebagai dosen dengan menjadi pemimpin lembaga pengembangan etika di Unika Atmajaya, bahkan sampai mengurusi pelbagai kebutuhan para mahasiswa dan dosen untuk mendapatkan beasiswa studi lanjut dan jejaringnya. Tentu semua kau lakukan masih tetap sebagai biarawan imam yang membuatmu lebih dan khas dalam kurban pelayanan di tengah umat beriman lingkup kampus dan paroki, bahkan di tengah masyarakat lintas iman dan keyakinan.

Pater Bertens yang lembut hati, guru dari guruku bukan sekedar mahaguru dalam arti gelar tapi sebagai teladan dan model yang patut dan layak kuhormati dan kukenang, apalagi memang secara tak langsung saya menjadi muridmu jua melalui beberapa kali perjumpaan dan juga melalui beberapa buku karyamu sendiri. Dalam suatu pembicaraan berdua terkait ide untuk menerbitkan kembali buku karya klasikmu, engkau bertanya: berapa eksemplar sekali terbit? Kwantitas rupanya penting, dan makna sebuah publikasi, entah tulisan artikel, jurnal, sampai buku adalah bukan soal hitungan royalti penulis tapi seberapa karya itu disebarkan dan diakses khalayak luas, supaya itu lebih efektif dan efisien bermanfaat dan paling tidak mendapatkan respons dari para pembacanya.

Dan kebetulan perjumpaan dengan Dr. Budi Munawar, yakni muridmu yang di Dryarkara itu terjadi karena kaka Paul Laratmase yang mengaku menjadi muridnya khususnya saat aktif di komunitas Esetorika yang diketuai oleh Denny JA. Kebetulan muridnya itu adalah kakak almamater saya di Pineleng jua. Mungkin seperti saya, dia tidak mengalami lagi kuliah2 langsung darimu. Tapi tetap merasa respek denganmu. Karena dia juga, saya terdorong untuk menuliskan kisah ini.

Pater (Bapa) Bertens yang terkasih…

Sungguh, murid entah kapanpun tetap ingat guru-guru mereka bahkan murid dari guru2 tersebut. Maka berbahagialah wahai para guru, maha guru dan siapa saja yang layak dihormati. Anda semua adalah sungguh pahlawan yang sangat berjasa walau tanpa tanda jasa. Iya apa artinya tanda jasa, kalau ijasah bukan tanda orang berpikir melainkan sekedar tanda orang hanya pernah belajar atau kuliah, kata Rocky Gerung. Namun adakah murid-muridmu yang bisa lulus dan mendapat ijasah tanpa berpikir bahkan lulus ujian berpikir? Tidak ada murid sejati apalagi dalam dunia filsafat yang tiada berpikir, apalagi sekedar dan asal berpikir tanpa sebuah dasar dan orientasi nilai, apalagi guru dan maha guru sejati itu selalu datang laksana “anjing menggonggong” bahkan “menggigit” di setiap jaman hanya demi membantu para domba dan penggembala menjadi lebih tertib dan disiplin di kandang maupun di lapangan rumput kehidupan yang makin layak dan pantas, utuh dan lestari.

Pastor Prof. Dr. Kees Bertens MSC, engkau telah datang beberapa puluh tahun lalu ke Indonesia sebagai misionaris, bersama dengan beberapa gelombang dosen kompeten untuk daerah misi dan gereja lokal di negara merdeka yang berumur masih belia. Tiba dan karyamu dimulai di tempat terpencil dengan kawanan kecil calon imam, pemimpin, dan guru di tanah Minahasa, di Seminari Pineleng (artinya: terpilih), dan seterusnya sosok dan karya pelayananmu ada terus dalam diri para murid dan kolega, umat dan mitra karya pelayanannya yang tanpa batas, melampaui diri sendiri, hingga akhir hayat yang dibongkar hari ini, Jumat, 20 Juli 2024, untuk kehidupan kekal, di mana tersedialah kemah kediaman ultim dan abadi.

Bukan kebetulan Pastor Kees Bertens MSC adalah misionaris MSC terakhir dari Belanda di Indonesia…perlu refleksi akal iman tersendiri lagi untuk gereja Indonesia dan bagi dunia. Sampai di sini dulu, duhai pastor biarawan Hati Kudus Yesus, saya ucapkan salam dan doa: Ametur ubique terrarum cor Iesu sacratissimi, in aeternum. Amen. Ad vitam aeternum, pastor bonus et fidelis!#